Pages

Jumat, 17 Februari 2012

TRAUMATIC INJURY PADA ANAK DAN PERAWATAN ENDODONTIK


TRAUMATIC INJURY PADA ANAK DAN
 PERAWATAN ENDODONTIK

Lukita Wardani
08/265935/KG/8308


Abstract:
Traumatic injury in the oral cavity and its surroundings are a lot of cases occur among children and adolescents, thus requiring both attention and meticulous about the care of a dentist. Injuries to children’s teeth can be very distressing for children as well as their parents. But sometimes injuries occur and oral injuries are quite upsetting to caretakers. Dental emergencies require immediate treatment to protect your child's teeth, nerves, blood vessels, and health. The teeth most often affected are the maxillary anterior primary teeth. Although fractured crowns are reported more often, the most common injury to primary teeth is a luxation or displacement injury with gingival hemorrhage. These injuries are most likely due to the direction of the force and the elasticity of the alveolar bone surrounding the primary teeth. In periodontally injured teeth, often seen late complications are pulp necrosis, pulp canal obliteration, root resorption and loss of marginal alveolar bone.

Keywords: traumatic injury, oral injuries, dental emergencies, primary teeth.

PENDAHULUAN
Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur (Dorland, 2002).
            Penyebab trauma gigi pada anak-anak yang paling sering adalah karena jatuh saat bermain, baik di luar maupun di dalam rumah dan saat berolahraga. Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung, trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi, sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang mengenai dagu menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan atau tekanan besar dan tiba-tiba (Wei, 1988).
            Menurut Ellis dan Davey trauma dapat diklasifikasikan menjadi sembilan kelas. Kelas I sampai dengan kelas VIII untuk gigi anterior permanen dan kelas IX untuk gigi anterior desidui yang juga terdiri dari delapan kelas. Berdasarkan beberapa penelitian, prevalensi trauma injuri mencapai 20-30% setiap tahunnya, sering terjadi pada usia 18-40 bulan untuk gigi desidui. Hal ini berhubungan dengan usia anak belajar berjalan dan sering terjatuh karena koordinasi otot anak belum sempurna. Sedangkan untuk gigi permanen pada usia 8-12 tahun terutama pada anak laki-laki karena jenis permainan yang dilakukan anak laki-laki lebih sering menyebabkan cedera dibandingkan dengan permainan anak perempuan. Gigi anterior maksila 2-3 kali lebih sering mengalami trauma terutama gigi dengan overjet 4 mm. Kecelakaan yang terjadi dirumah, disekolah, dan tempat bermain ditemukan sebanyak 60%, disebabkan kecelakaan lalu lintas 15 %, karena olahraga 14 % dan lain-lain sebanyak 11 % (Ravel, 2003; Rutar, 1997; Krasner, 2006).
            Selain faktor-faktor di atas ada beberapa faktor predisposisi terjadinya trauma gigi anterior yaitu posisi dan keadaan gigi tertentu misalnya kelainan dentofasial seperti maloklusi kelas I tipe 2, kelas II divisi 1 atau yang mengalami overjet lebih dari 3 mm, keadaan yang memperlemah gigi seperti hipoplasia email, kelompok anak penderita cerebral palsy, dan anak dengan kebiasaan mengisap ibu jari yang menyebabkan gigi anterior protrusive (Roberts, 1980; Birch, et al., 1973; Finn, 2003).
Kehilangan gigi tersebut signifikan dan dapat menimbulkan dampak negatif. Selain mengalami gangguan fungsi dan estetis, psikologis juga dapat terganggu karena akan merasa tidak percaya diri akibat hilangnya gigi (Mathewson dan Primosch, 1995).
Perawatan pada anak untuk kasus traumatik injuri antar lain yaitu replantasi, kaping pulpa, pulpotomi dan pulpektomi. Pulpektomi akan dibahas lebih lanjut untuk mengetahui indikasi, kontraindikasi, prosedur perawatan dan mekanisme perawatannya.

PEMBAHASAN
Definisi trauma gigi adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau periodontal karena sebab mekanis (Schuurs, 1992). Traumatik injuri pada rongga mulut dan sekitarnya merupakan kasus yang banyak terjadi di kalangan anak dan remaja, sehingga mernbutuhkan perhatian baik dan teliti mengenai perawatan dari dokter gigi. Cedera traumatik pada anak dikatakan hampir 30 persen anak pernah mengalami trauma pada gigi dan wajah pada saat bermain, berolah raga atau aktivitas lainnya. Trauma yang melibatkan gigi depan tetap atas sering terjadi pada usia 8 sampai 12 tahun. Penyebab trauma pada gigi permanen antara lain jatuh dari sepeda, berkelahi, kecelakaan lalu lintas dan olahraga.
Perawatan yang dapat dilakukan, pada hal ini perawatan endodontic, pada trauma gigi salah satunya adalah pulpektomi.
 PULPEKTOMI (Ekstirpasi Pulpa)
Pulpektomi adalah pengangkatan seluruh jaringan pulpa. Pulpektomi merupakan perawatan untuk jaringan pulpa yang telah mengalami kerusakan yang bersifat irreversible atau untuk gigi dengan kerusakan jaringan keras yang luas (Bence, 1990). Atau pulpektomi meliputi pembuangan jaringan nekotik dari bagian korona dan saluran akar gigi sulung yang pulpanya telah nonvital atau mengalami radang kronis (Mathewson dan Primosch, 1995). Meskipun perawatan ini memakan waktu yang lama dan lebih sukar daripada pulp capping atau pulpotomi namun lebih disukai karena hasil perawatannya dapat diprediksi dengan baik. Jika seluruh jaringan  pulpa dan kotoran diangkat serta saluran akar diisi dengan baik akan diperoleh hasil perawatan yang baik pula (Bence, 1990).
Indikasi perawatan pulpektomi pada anak adalah gigi yang dapat direstorasi, anak dengan keadaan trauma pada gigi insisif sulung dengan kondisi patologis pada anak usia 4-4,5 tahun, tidak ada gambaran patologis dengan resorpsi akar tidak lebih dari dua pertiga atau tiga perempat (Kennedy, 1992). Indikasi lain perawatan pulpektomi adalah gigi dengan pulpa radikular mengalami radang kronis atau nekrosis, terdapat rasa sakit spontan atau menetap, tidak ada resorpsi internal, resorpsi eksternal masih terbatas, kegoyangan atau kehilangan tulang interradikular minimal, terdapat abses atau fistula, perdarahan setelah amputasi pulpa merah tua dan sulit dikontrol, tidak ada gigi permanen pengganti (Bence, 1990).
Perawatan pulpektomi merupakan kontraindikasi pada keadaan berikut: gigi tidak dapat direstorasi, panjang akar kurang dari dua pertiga disertai resorpsi internal atau eksternal, resorpsi internal dalam ruang pulpa dan saluran akar (Mathewson dan Primosch, 1992), pasien dengan penyakit kronis misalnya leukemia, penyakit jantung rematik dan congenital dan penyakit ginjal kronis (Mathewson dan Primosch, 1995).
Jika pulpektomi merupakan kontraindikasi, gigi harus dicabut dan pebuatan alat penahan ruang perlu dipertimbangkan. Bila gigi dibiarkan tidak dirawat mungkin akan timbul akibat patologis seperti abses, granuloma atau kista, osteomielitis, gangguan pada perkembangan normal dan erupsi gigi pengganti dan efek sistemik sebagai hasil infeksi kronis (Kennedy, 1992).

1. Pulpektomi Vital
Pulpektomi vital sering dilakukan pada gigi anterior dengan karies yang sudah meluas kearah pulpa, atau gigi yang mengalami fraktur. Langkah-langkah perawatan pulpektomi vital satu kali kunjungan (Kennedy, 1992):
1. Pembuatan foto Rontgen. Untuk mengetahui panjang dan jumlah saluran akar serta keadaan jaringan sekitar
  1. Gigi yang akan dirawat. Pemberian anestesi lokal untuk menghilangkan rasa sakit pada saat perawatan.
  2. Daerah operasi diisolasi dengan rubber dam untuk menghindari kontaminasi bakteri dan saliva.
  3. Jaringan karies dibuang dengan bor fisur steril. Atap kamar pulpa dibuang dengan menggunakan bor bundar steril kemudian diperluas dengan bor fisur steril.
  4. Jaringan pulpa di kamar pulpa dibuang dengan menggunakan ekskavatar atau bor bundar kecepatan rendah.
  5. Perdarahan yang terjadi setelah pembuangan jaringan pulpa dikendalikan dengan menekankan cotton pellet steril yang telah dibasahi larutan saline atau akuades selama 3 sampai dengan 5 menit.
  6. Kamar pulpa dibersihkan dari sisa-sisa jaringan pulpa yang telah terlepas kemudian diirigasi dan dikeringkan dengan cotton pellet steril. Jaringan pulpa di saluran akar dikeluarkan dengan menggunakan jarum ekstirpasi dan headstrom file.
  7. Saluran akar diirigasi dengan akuades steril untuk menghilangkan kotoran dan darah kemudian dikeringkan dengan menggunakan paper point steril yang telah dibasahi dengan formokresol kemudian diaplikasikan ke dalam saluran akar selama 5 menit.
  8. Saluran akar diisi dengan pasta mulai dari apeks hingga batas koronal dengan , menggunakan jarum lentulo.
  9. Lakukan lagi foto rontgen untuk melihat ketepatan pengisian .
  10. kamar pulpa ditutup dengan semen, misalnya dengan semen seng oksida eugenol atau seng fosfat.
  11. Selanjutnya gigi di restorasi dengan restorasi permanen.

2.  Pulpektomi Nonvital (Endo Intrakanal)
Perawatan endodontik untuk gigi sulung dengan pulpa non vital adalah pulpektomi mortal (pulpektomi devital) (Andlaw dan Rock, 1993). Pulpektomi mortal adalah pengambilan semua jaringan pulpa nekrotik dari kamar pulpa dan saluran akar gigi yang non vital, kemudian mengisinya dengan bahan pengisi. Walaupun anatomi akar gigi sulung pada beberapa kasus menyulitkan untuk dilakukan prosedur pulpektomi, namun perawatan ini merupakan salah satu cara yang baik untuk mempertahankan gigi sulung dalam lengkung rahang (Mathewson dan Primosch, 1995).
Langkah-langkah perawatan pulpektomi non vital (Andlaw dan Rock, 1993; Kennedy, 1992; Mathewson dan Primosch, 1995):
Kunjungan pertama :
1. Lakukan foto rontgen.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Buang semua jaringan karies dengan ekskavator, selesaikan preparasi dan
desinfeksi kavitas.
4. Buka atap kamar pulpa selebar mungkin.
5. Jaringan pulpa dibuang dengan ekskavator sampai muara saluran akar terlihat.
6. Irigasi kamar pulpa dengan air hangat untuk melarutkan dan membersihkan debris.
7. Letakkan cotton pellet yang dibasahi trikresol formalin pada kamar pulpa.
8. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
9. Instruksikan pasien untuk kembali 2 hari kemudian.

Kunjungan kedua :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Jaringan pulpa dari saluran akar di ekstirpasi, lakukan reaming, filling, dan irigasi.
4. Berikan Beechwood creosote.
Celupkan cotton pellet dalam beechwood creosote, buang kelebihannya, lalu letakkan dalam kamar pulpa.
5. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
6. Instruksikan pasien untuk kembali 3 sampai dengan 4 hari kemudian.

Kunjungan ketiga :
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
3. Keringkan kamar pulpa, dengan cotton pellet yang berfungsi sebagai stopper masukkan  pasta sambil ditekan dari saluran akar sampai apeks.
4. Letakkan semen zinc fosfat.
5. Restorasi gigi dengan tambalan permanen.

Akhir-akhir ini pulpektomi gigi sulung sering dilakukan dalam satu kali kunjungan. Tetapi bila gigi sudah nekrosis disertai dengan rasa sakit dan terdapat pus pada saluran akar, maka perawatan sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali kunjungan (2 atau 3 kali), untuk meningkatkan keberhasilan perawatan (McDonald dkk., 2004).

Evaluasi Setelah Perawatan
Setiap perawatan pulpa pada gigi sulung perlu dievaluasi baik secara klinis maupun radiografis. Evaluasi klinis dilakukan kira-kira seminggu setelah perawatan dan dilanjutkan dengan evaluasi setiap 6 bulan, untuk melihat apakah gigi goyang, ada rasa sakit yang menetap, ada pembengkakan atau fistula di jaringan sekitar gigi. Evaluasi radiografis dilakukan antara 12 sampai 18 bulan setelah perawatan. Perawatan dianggap berhasil bila secara radiografis terlihat penyembuhan tulang dengan tidak ada tanda atau gejala. Perawatan dianggap gagal bila terapat mobilitas patologis, timbul fistula, rasa sakit (biasanya pada perkusi); secara radiografis terlihat daerah radiolusensi yang meningkat, adanya resorpsi eksternal maupun internal (Mathewson dan Primosch, 1995).
KESIMPULAN
Berdasarkan pengertian yang ada, dapat disimpulkan bahwa trauma injuri pada anak harus segera ditangani. Jika perawatan dilakukan terlambat, dapat berpengaruh pada psikologis anak dan keadaan gigi permanen nantinya. Salah satu perawatan yang endodontik yang dapat dipakai dengan pulpektomi. Pulpektomi dapat dilakukan 1 kali kunjungan atau bahkan lebih, tergantung dari parahnya jaringan pulpa yang mengalami kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Andlaw, R. J., dan W. P. Rock. 1993. A Manual of Paedodontics. 3rd edition. Churchill Livingstone: New York.
Bence, R. 1990. Buku Pedoman Endodontik Klinik. Diterjemahkan dari Handbook of Clinical Endodontics oleh E. H. Sundoro. Penerbit UI : Jakarta.
Birch, R.H. Huggins, D.G. 1973. Practical pedodontics. Churchill Livingstone: Edinburgh.
Dorland, W.A.N. 2002. Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Terjemahan H. Hartanto dkk. EGC: Jakarta.
Finn, S.B. 2003. Clinical pedodontics. 4th ed. W. B. Saunders Company : Philadelphia.
Kennedy, D. B. 1992. Konservasi Gigi Anak. Diterjemahkan dari Paediatric Operative Dentistry oleh N. Sumawinata dan S. H. Sumartono. EGC : Jakarta.
Krasner P. 2006. With the right prosedures, EPS Can Save Avulsid Teeth. <http://www.mytoothcaretips.com/article1.pdf>
Mathewson, R. J., dan R. E. Primosch. 1995. Fundamentals of Pediatric Dentistry;. 3rd edition. Quintessence Publishing : Chicago.
McDonald, R.E., Avery, D.R. 2004. Dentistry for the child and adolescent. 7th ed. Mosby : St Louis.
Ravel. Pediatric dental Health. 2003. Management of dental trauma in children.. <http:dentalresource.org/topic50trauma.html>
Roberts, M.W. 1980. Traumatic injuries to the primary and immature permanent dentition. Dalam Braham R.L., Moris, M.E. Textbook of pediatric dentistry. Williams & Wilkins : Baltimore.
Rutar JE. 1997. Paediatric dentistry avulsion: Case reports. Aust Dent J. 42 (6): 361-6
Schuurs, A.H.B. dkk. 1992. Patologi gigi-geligi : Kelainan-Kelainan Jaringan Keras Gigi. Terjemahan S. Suryo. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Wei, S.H. 1988. Pediatric dentistry : total patient care. Lea & Febiger : Philadelphia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar